Sabtu, 23 Oktober 2010

FIKSI SEBUAH TEKS PROSA NARATIF


1.      Fiksi; Pengertian dan Hakikat
Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margi kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan           sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi juga termasuk penulisan berita dalam surat kabar.
Karya Imajiner dan Estetis. Prosa  dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discource) dalam penekatan struktural dan semiotik. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat cerkan) atau cerita khayalan. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Ada tidaknya atau dapat tidaknya sesuatu yang di kemukakan dalam suatu karya dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya non fiksi. Tokoh, peristiwa dan temapt yang disebut-sebut dalam fiksi dan tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya non fiksi bersifat faktual.
Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagia permasalahan manusia dan kemanusaan, hidup dan kehidupan. Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis (1966; 14) dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog kentemplasi dan rekasi pengarang terhadap lingkungna dan kehidupan walau berupa kahyalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengaran sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan. Fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik.
Melalui sarana cerita itu pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkna pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya, sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”
Fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel (Abrams, 1981: 61). Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang di idealkan, dunia imajinatif yang dibangun melai berbagai unsur intriksinya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya.
Namun perlu juga di catat bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian oleh Abrams (1981: 61) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar4 penulisan fakta biografis, danfiksi sains (science fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi non fiksi (nonfiction fiction).
Kebenaran dalam fiksi dunia fiksi adlah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah di yakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama (dan bahkan kadang-kadang) logika dan sebagainya.
Wellek & Werren (1989: 278-9) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan meyakinkan yang ditampilkan. Namun tidak selalu merupakan kenyaaan sehari-hari. Dalam dunia teori dan kritik sastra dikenal adanya teori yang menghubungkan karya sastra dengan semesta, dengan dunia nyata. Teori yang dimaksud adalah teori mimetik, sebuah teori klasik yang berasal dari Plato dan Aristoteles, yaitu yang terkenal dengan teori imitasinya.
Adanya ketegangan yang terjadi karena hubungna antara kebenaran faktual dengan kebenaran imajinatif, sebenarnya juga bersumber dari pandangan Aristoteles yaitu bahwa karya sastra merupakan paduan antara unsur mimetik dan kreasi, peniruan dan kreativitas khayalan dan realitas. Teori Mimetik menganggap bahwa fiksi hanya merupakan peniruan atau pencerminan terhadap realitas kehidupan. Menerut teori kreativitas, ia sekaligus merupakan hasil kreativitas pengarang.

2.      Pembedaan Fiksi
Karya fiksi seperti halnya dalam kesastraan Inggris dan Amerika, menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek. Novel dan cerita pendek (juga dengan roman) sering dicoba bedakan orang, walau tentu saja hal itu lebih bersfiat teoretis. Disamping itu orang jug mencoba membedakan antar novel serius dengan novel populer yang ini terlebih lagi bersifat teoretis dan tentatif.
a.      Novel dan Cerita Pendek
Novel (Inggsi; Novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen, Inggris Short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembanganya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi, dengan demikian, pengertian fiksi seperti di kemukakan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman Novelle). Secara harfiah novelle berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams, 1981: 119). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah indonesia Novelet (Inggris novellette), yang berarti  sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang terutama) dapat di lihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita Cerpen. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72) yang sastrawan kenamaan dari Amerika itu, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk. Karya sastra yang di sebut novelet adalah karya yang lebih pendek dari pada novel, tetapi lebih panjang dari pada cerpen. Katakanlah pertengahan diantara keduanya. Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan, keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca; unsur-unsur cerita) yang sama, keduanya dibangun dari dua intrinsik dan ekstrinsik. Novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa. Plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud akan dicoba kemukakan di bawah ini, kalau walau tentu saja tidak bersifat komprehensif (Abrams, 1981: 119-20, 176-7; Stanton, 1965: 37-52).
Dari segi panjang cerita novel (jauh) lebih panjang dari pada cerpen, oleh karena itu, novel daapt mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, jadi secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan. Kelebihan novel yang khas adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”. Hal itu berarti membaca sebuah novel menjadi lebih mudah sekaligus lebih sulit daripada membaca cerpen.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen. Hal yang dimaksud terlihat pada pembicaraan berikut.
1)      Plot, Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen juga novel, yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca). Novel di pihak lain berhubung adanya ketidakteriakatan pada panjang cerita yang memberi kebebasan kepada pengarang, umumnya memiliki lebih dari satu plot terdiri daru satu plot utama dan subplot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang diceritakan sepanjang karya itu, sedangkan sub-subplot adalah berupa (munculnya) konflik-konflik tambahan yang bersifat menopang, mempertegas, dan mengintensifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks. Plot-plot tambahan atau sub-subplot tersebut berisi konflik-konflik yang mungkin tidak sama kadar “ke-pentingannya” atau perannya terhadap plot utama.
2)      Tema, karena ceritanya yang pendek, cerpen hanya berisi satu tema, sebaliknya novel dapat saja menawarkan lebih dari satu tema yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan, sejalan dengan adanya plot utama dan sub-subplot diatas yang menampilkan suatu konflik utama dan konflik-konflik pendukung (tambahan)
3)      Penokohan, jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam novel dan cerpen terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Dibanding dengan novel tokoh-tokoh cerita cerpen lebih lagi terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu. Tokoh-tokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, dan lain-lain.
4)      Latar, pelukisan latar cerita untuk novel dan cerpen dilihat secara kuantitatif terdapat perbedaan yang menonjol. Cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang kedaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial, cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit. Asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang di maksudkan. Novel sebaliknya dapat saja melukiskan keadaan latar secara rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti.
5)      Kepaduan, Novel atau cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity, artinya, segala sesuatu yang diceriakan bersifat dan berfungsi mendukung tema utama. Dunia imajiner yang ditampilkan cerpen hanya menyangkut salah stu sisi kecil pengalaman kehidupan saja, sedang yang ditawarkan novel merupakan dunia dalamskala yang lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling berjalinan.

Roman dan Novel, akhirnya perlu juga dikemukan bahwa dalam kesastraan Indonesia dikenal juga istilah roman. Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistis, sedang romansa putis dan epik. Hal itu menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif non fiksi, misalnya surat, biografi, kronik atua sejarah. Jadi, Novel berekmbang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih megnacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam. Romansa, yang merupakan kelanjutan epik dan romansa abar pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil (Wellek & Warren, 1989: 282-3)
Sebenarnya roman itu sendiri lebih tua dari pada novel (frye, dalam Stevick, 1967: 33-6). Romah menurut Frye, tidak berusaha menggambarkan tokoh secara nyata, secara lebih realistis. Merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang lebih bersifat introver, dan subjektif. Di pihak lain, novel lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realistis sosial, jadi ia merupakan tokoh yang lebih memiliki derajat lifelike, disamping merupakan tokoh yang bersifat ekstrover. Dalam pengertian moder, roman berarti cerita prosa yang melukiskan pengalaman-pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan (Van Leeuwen, lewat Jassin, 1961: 70). Pengertian itu mungkin ditambah lagi dengan ”menceritakan tokoh sejak dari ayunan sampai ke kubur” dan lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan pelaku, mendalami sifat watak, dan melukiskan sekitar tempat hidu.
Istilah Roman, novel cerpen dan fiksi memang bukan asli Indonesia, sehingga tidak ada pengertian yang khas Indonesia.

b.      Novel Serius dan Novel Populer
Ciri-ciri yang ditemukan pada novel serius yang biasanya di pertentnagkan dengan novel populer sering juga ditemui pada novel-novel populer, sebaliknya, apalagi jika pencirian yang di lakukan itu bersifat umum, di generalisasikan pada semua karya serius ataupun populer. Tak jarang novel-novel yang dikategorikan sebagai populer memiliki kualitas literer yang tinggi dan dpat juga terjadi sebaliknya. Bayak cerpen, novelet, dan novel yang dimuat di majalah populer (misalnya di majalah-majalah wanita seperti Kartini, Gadis, Sarinah dan Femina) yang mestinya bersifat populer pula, namun bernilai leterer tinggi.
Sebuah novel populer, atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai ”novel pop” kata ’pop’ erat disosiasikan dengan kata ’populer’, mungkin karena novel-novel itu sengaja di tulis untuk ”selera populer” yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagia suatu ”barang dengan populer” dan kemudian di kenal sebagai ”bacaan populer” dan jadilah istilah ’pop’ itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita (Kayam, 1981: 82).
Sastra dan musik ’populer’ sebagai kelanjutan dari istilah ’populer’ yang sebelumnya telah di kenal dalam dunia sastra dan musik adalah semacam sastra dan musik yang di kategorikan sebagai sastra dan musik hiburan dan komersial. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Menampilkan maalah-maslaah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya tu. Sastra populer akan setia memantlkan kembali ’emosi-emosi asli’ dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Novel serius di pihak lain, justru ’harus’ sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sasrta. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan aik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.
Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang di kemukakan. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (stanton, 1965: 2). Ia ”tidak berpretensi” mengajar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya. Selain dari itu, berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, hanya bersifat itu-itu saja, atau begitu-begitu saja, dan tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan.
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya; unsur kebaruan diutamakan. Tentang bagaimana suatu bahan (baca; gagasan) diolah (baca; diungkapkan) dengan cara yang khas, adalah hal yang penting dalam teks kesastraan. Justru karena adanya unsur pembaharuan itu yang sebenarnya merupakan tarik menarik antara pemertahanan dan penolakan konvensi teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip atau paling tidak pengarang berusaha untuk menghindarinya.
Novel sastra menuntut aktivitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk ’mengoperasikan’ daya intelektualnya. Walau hal yang demikian juga ditemui dalam novel populer, teks kesastraan menuntut peran aktivitas yang lebih besar. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang pembaca novel jenis ini tidak (mungkin banyak)

3.      Unsur-Unsur Fiksi
Sebuah karya f iksi yang jdi, merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja di kreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri ’hanya’ berupa kata, dan kata-kata. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jikan ovel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahsa, misalnya merupakan salah satu bagian dari totalitas itu. Salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsitem organisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya menjadi berwujud. Pembicaraan unsur fiksi berikut di lakukan menurut pandangan tradisional dan di ikuti pandangan menurut Stanton (1965) dan Chapman (1980).
a.      Intriksi dan Ekstrinsi
Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat di kelompokkan menjadi dua bagian. Walau pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang di maksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Di pihak lain unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi karya sastra. Sebagaimana halnya unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang di maksud (Wellek & Warren, 1956; 75-135) antara lain adalah keadaan subjektivitas indiviu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang di tulisnya.
Pendek kata unsur biografi pengarang akan turu menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi,baik yang berupa psikolog pengarang (yang mencakup proses kreatifnya). Psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain dan sebagainya.
Pembagian unsur intrinsik struktur karya sastra yang tergolong tradisional, adalah pembagian berdasarkan unsur bentuk dan isi. Unsur peristiwa dan tokoh (dengan segala emosi dan perwatakannya) adalah unsur isi, namun masalah pemplotan (struktur pengurutan peristiwa secara linear dalam karya fiksi) dan penokohan (sementara dibatasi teknik menampilkan tokoh dalam suatu karya fiksi) tergolong unsur bentuk. Padahal pembicaraan unsur plot (pemplotan) dan penokohan tak mungkin dilakukan tanpa melibatkan unsur peristiwa dan tokoh.

b.      Fakta, Tema, Sarana Cerita
Stanton (1965: 11-36) membedakan unsur pembangunan sebuah novel ke dalam tiga bagian fakta tema dan sarana pengucapan (sastran, fakta facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot dan setting, ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya dalam sebuah novel. Sarana pengucapan sastra, saran kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermkan. Tujuan penggunaan (tepatnya, pemilihan) sarana kesastraan adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimaan yang ditafsirkan pengarang dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang, penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme dan ironi.
Setiap novel akan memiliki tiga unsur pokok, sekaligus merupakan unsur terpenting yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama.


c.       Cerita dan Wacana
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu (baca, serita, isi) yang di ekspresikan (chatman, 1980; 23) cerita terdiri dari peristiwa (events) dan wujud keber-ada-annya. Eksistensinya (existents). Wacana, di pihak lain, merupakan sarana untuk mengungkapkan isi, atau secara singkat dapat di katakan unsur cerita adalah apa yang ingin di lukiskan dalam teks naratif itu, sedang wacana adalah bagaimana cara melukiskannya (Chatman, 1980; 19).
Berdasarkan pandangan bahwa teks naratif merupakan sebuah fakta simiotik, semiotik adalah ilmu tentang tanda,. Dengan demikian, unsur teks naratif itu sebagai fakta simiotik terdiri dari unsur. substansi isi (substance of content) bentuk isi (form of content), substansi Ekspresi (substance of expression) dan bentuk ekspresi (form of expression).
Unsur yang merupakan substansi isi, di lain pihak adlah keseluruhan semesta, berbagai bentuk kemungkinan objek dan peristiwa (kejadian) baik yang ada di dunia nyata maupun (yang hanya) dunia imajinatif, yang dapat diimatasikan ke dalam karya naratif sebagaimana yang tersaring lewat kode sosial, budaya pengarang, aspek wacana juga terdiri dari unsur bentuk wacana dan substansi wacana. Unsur bentuk wacana berupa struktur transmisi naratif (dapat juga disebut; wacana naratif) yang terdiri dari unsur-unsur seperti urutan (linearitas) penceritaan atau susunan, modus, kala, frekuensi, perspektif atau sudut pandang, dan lain-lain. Substansi wacana bersujud media, sarana yang dapat di pergunakan untuk mengkomuniaksikan sesuatu (gagasan, cerita) yang ingin di ungkapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar