Minggu, 24 Oktober 2010

CURAH HUJAN DAN PANAS


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Negara Indoensia pada saat ini sedang mengalami musim penghujan, sehingga banyak terjadi bencana alam di mana-mana seperti banjir, tanah longsor, dll.
Pada bulan April dan Mei kita rasakan suatu fenomena luar biasa apalagi sampai bulan Juni masih hujan. Perubahan musim yang biasanya terjadi sesuai dengan bulan-bulan langganan musim hujan atau panas.
Jumlah curah hujan setiap bulan selama satu tahun sering berbeda, satu bulan bila banyak curah hujannya kurnag dari 60 mm di sebut bulan kerang, bila banyak curha hujannya antara 60-100 mm disebut bulan lebab, dna bila banyak curha hujannya lebih dari 100 mm disebut bulan basah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian curah hujan?
2.      Apa yang terjadi ketika ada ekstremitas perubahan musim?
3.      Kenapa iklim dapat berubah?

C.     Tujuan
Untuk mengetahui perubahan cuaca dan iklim

D.    Manfaatnya
Dengan pembuatan makalah ini kita dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam pelajaran hidrologi dasar.

BAB II
PEMBAHASAN

Hujan di bulan April dan Mei kita rasakan suatu fenomena luar biasa apalagi sampai bulan Juni maka masih hujan bagi kit aorang awam menganggap suatu keanehan. Usia saya hampir setengah abad (48 tahun) berarti sudah sekian kali merasakan rutinitas pergantian musim tropis dari musim hujan berubah panas dan sebaliknya, perubahan musim yang biasa terjadi sesuai dengan bulan-bulan langanan musim hujan atau panas.
Fenomena alam saat ini seolah-olah semua hari menjadi musim hujan, kondisi ini kita masih boleh bersyukur karena tiap hari secara umum kebutuhan air masih mudah, coba kita bayangkan andai saja terjadi giliran perubahan yaitu tiap hari musim kemarau. Taruhlah selama tahun 2011 musim kemarau dengan hari-hari selalu tanpa huan, bagaimana kita mensikapi dengan keterbatasan air (mudah-mudahan tidak terjadi)

Ekstremitas Perubahan Musim
Banjir yang menerjang sejumlah daerah pada Mei in, bagaimanapun adalah bagian dari akibat ekstremitas perubahan musim yang dalam beberapa tahun terakhir telah kita rasakan. Biasanya, menurut ilmu titen masyarakat, hujan di daerah seperti Kota Semarang akan memuncak pada bulan-bulan Januari-Februari, lalu Maret hingga April masuk ke transisi musim panas, dan Mei sudah memasuki kemarau.
Genangan air di sejumlah daerah cenderung meninggi karena curah hujan yang juga tinggi. Apakah ini anomali musim atau kondisi yang sudah bisa di prediksi, kiranya kesiapan untuk menghadapi realitas perubahan cuaca dan musim itulah yang perlu di persiapkan. Mulai dari penatalaksanaan kesiapan lingkungan keseharian, kalkulasi di bidang pertanian (termasuk pertambakan), dan adaptasi untuk menyiapkan pangan dalam menghadapi musim berikutnya boleh jadi juga masih dipengaruhi oleh kondisi yang tak menentu.
Pengamat lingkungan dari Universitas Muria Kudus, Hendy Hendro Sudjono yang menganalisis informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisikan Jawa tengah memperkirakan, sepekan mendatang curah hujan akan kembali meningkat. Dalam sebulan debit hujan cenderung meningkat diatas 50 milimeter, dan intensitasnya bisa terjadi setiap hari, terutama menjelang malam hingga pagi. Kondisi itu dipicu oleh tekanan rendah di Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik, yang menyebabkan hujan merata di sebagian wilayah Indonesia.
Perubahan musim  yang ekstrem itu bisa di indikasikan dari sejumlah fakta; hujan mundur hingga bulan-bulan yang seharusnya sudah memasuki masa transisi, atau musim kemarau masih memanggang justru pada bulan-bulan ketika udara biasanya mulai basah. Penjelasan-penjelasan ilmiah dari otoritas terkait bisa dibaca sebagai warning untuk merespons. Misalnya bagaimana menyikapinya terkait dengan adaptasi sektor pertanian dan pertambangan, juga bagaimaan seharusnya kearifan kita dalam memperlakukan lingkungan.
Pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan, mungkin akan menemukan muara ”kambing hitam” secara mudah, dengan mengatakan apa yang terjadi sekarang merupakan akibat dari pengaruh pemanasan gelobal. Padahal munculnya kondisi-kondisi tertentu yang mudah menyebabkan banjir misalnya tentu tidak mungkin tanpa adanya pemicu dari sikap-sikap manusia. Mulai dari berbagai keputusan tentang kebijakan tata ruang, kebijakan ekonomi dan naluri eksploitatif manusia.
Apa yang kita rasakan sekarang, kekacauan tata ruang di sejumlah wilayah, produk sektor pertanian yang sulit di prediksi karena anomali musim, atau lingkungan permukiman yang tidak sehat, bagaimanapun tidak lepas dari realitas teori sebab akibat. Benar, fenomena pemanasan global memang member iandil  besar bagi hilangnya keseimbangan ekosistem, namun ekstremitas perubahan musim seperti  fakta curah hujan tinggi justru pada bulan kering seperti sekarang, menuntut kearifan kita dalam menyikapinya.
Pemerintah Indoensia ketika meluncurkan negosiasi di Bali pada tahun 2007, mengakui peringatan ilmiah pada iklim untuk apa itu sirine panggilan untk ”bertindak sekarang, atau menghadapi yang terburuk”.
Bagaimana Iklim Dapat Berubah?
            Salah satu komponen iklim adalah temperatur. IPCC menemukan bahwa, selama 100 thaun terakhir (1906-2005) temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740 C, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Tingkat pemanasan, raa-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari yang terjadi pada 100 tahun terakhir. Akhir tahun 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas sejak adanya arsip data modern. Peningkatan pemanasan sebesar 0,20 C diproyeksikan akan terjadi untuk setiap dekade pada dua dekade kedepan. Proyeksi tersebut di lakukan dengan beberapa skenario yang tidak memasukkan pengurangan emisi GRK.  Besar pemanasan yang terjadi setelahnya akan tergantung kepada jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer.
Mengapa suhu permukaan bumi bisa meningkat? Penelitian yang telah di lakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan efek rumah kaca yang merupakan hasil dari penyerapan energi oleh gas-gas tertentu yang terdapat di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena gas-gas ini secara efektif ”menangkap” panas yang terdapat di atmosfer bagian bawah) dan meradiasikan kembali sebagian dari panas tersebut ke bumi. Gas rumah adalah salah satu kelompok gas dalam atmosfer yang dapat menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Sistem kerjanya adalah dengan mengembalikan pantulan sinar matahari dari permukan agar tetap berada dalam sistem atmosfer bumi. Kondisi atmosfer bumi yang hangat memungkinkan manusia dan mahluk hidup lainnya tumbuh dan berkembang biak. Dengan demikian, pada dasarny gas rumah kaca dan efeknya diperlukan untuk menjaga kehidupan di bumi. Tanpa adanya efek rumah kaca yang alami, suhu di permukaan bumi akan berada pada angka -180 C bukan seperti suhu saat ini. Masalahnya yang terjadi saat ini adalah konsentrasi gas rumah kaca semakin bertambah melebihi tingkat normal sehingga sebagian radiasi yang berasal dari matahari maupun permukaan bumi terjebak oleh gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi tidak dapat keluar angkasa dan kembali ke permukaan bumi sehingga memanaskan suhu bumi.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Jadi keadaan cuaca di Indonesia pada saat ini tidak teratur sehingga menyebabkan terjadinya bencana dimana-mana.

B.     Saran
Dalam makalah ini, saya membutuhkan saran dan kritik dari semua, karena dengan saran dan kritik yang bisa membaut semangat saya untuk dapat menyempurnakan segala sesuatu yang ingin saya lakukan.

Sabtu, 23 Oktober 2010

FIKSI SEBUAH TEKS PROSA NARATIF


1.      Fiksi; Pengertian dan Hakikat
Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margi kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan           sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi juga termasuk penulisan berita dalam surat kabar.
Karya Imajiner dan Estetis. Prosa  dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discource) dalam penekatan struktural dan semiotik. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat cerkan) atau cerita khayalan. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Ada tidaknya atau dapat tidaknya sesuatu yang di kemukakan dalam suatu karya dibuktikan secara empiris inilah antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya non fiksi. Tokoh, peristiwa dan temapt yang disebut-sebut dalam fiksi dan tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya non fiksi bersifat faktual.
Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagia permasalahan manusia dan kemanusaan, hidup dan kehidupan. Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis (1966; 14) dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog kentemplasi dan rekasi pengarang terhadap lingkungna dan kehidupan walau berupa kahyalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengaran sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan. Fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik.
Melalui sarana cerita itu pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkna pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya, sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”
Fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel (Abrams, 1981: 61). Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang di idealkan, dunia imajinatif yang dibangun melai berbagai unsur intriksinya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya.
Namun perlu juga di catat bahwa dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian oleh Abrams (1981: 61) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar4 penulisan fakta biografis, danfiksi sains (science fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi non fiksi (nonfiction fiction).
Kebenaran dalam fiksi dunia fiksi adlah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah di yakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama (dan bahkan kadang-kadang) logika dan sebagainya.
Wellek & Werren (1989: 278-9) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan meyakinkan yang ditampilkan. Namun tidak selalu merupakan kenyaaan sehari-hari. Dalam dunia teori dan kritik sastra dikenal adanya teori yang menghubungkan karya sastra dengan semesta, dengan dunia nyata. Teori yang dimaksud adalah teori mimetik, sebuah teori klasik yang berasal dari Plato dan Aristoteles, yaitu yang terkenal dengan teori imitasinya.
Adanya ketegangan yang terjadi karena hubungna antara kebenaran faktual dengan kebenaran imajinatif, sebenarnya juga bersumber dari pandangan Aristoteles yaitu bahwa karya sastra merupakan paduan antara unsur mimetik dan kreasi, peniruan dan kreativitas khayalan dan realitas. Teori Mimetik menganggap bahwa fiksi hanya merupakan peniruan atau pencerminan terhadap realitas kehidupan. Menerut teori kreativitas, ia sekaligus merupakan hasil kreativitas pengarang.

2.      Pembedaan Fiksi
Karya fiksi seperti halnya dalam kesastraan Inggris dan Amerika, menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek. Novel dan cerita pendek (juga dengan roman) sering dicoba bedakan orang, walau tentu saja hal itu lebih bersfiat teoretis. Disamping itu orang jug mencoba membedakan antar novel serius dengan novel populer yang ini terlebih lagi bersifat teoretis dan tentatif.
a.      Novel dan Cerita Pendek
Novel (Inggsi; Novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen, Inggris Short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembanganya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi, dengan demikian, pengertian fiksi seperti di kemukakan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman Novelle). Secara harfiah novelle berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams, 1981: 119). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah indonesia Novelet (Inggris novellette), yang berarti  sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang terutama) dapat di lihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita Cerpen. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72) yang sastrawan kenamaan dari Amerika itu, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk. Karya sastra yang di sebut novelet adalah karya yang lebih pendek dari pada novel, tetapi lebih panjang dari pada cerpen. Katakanlah pertengahan diantara keduanya. Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan, keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca; unsur-unsur cerita) yang sama, keduanya dibangun dari dua intrinsik dan ekstrinsik. Novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa. Plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud akan dicoba kemukakan di bawah ini, kalau walau tentu saja tidak bersifat komprehensif (Abrams, 1981: 119-20, 176-7; Stanton, 1965: 37-52).
Dari segi panjang cerita novel (jauh) lebih panjang dari pada cerpen, oleh karena itu, novel daapt mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, jadi secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan. Kelebihan novel yang khas adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”. Hal itu berarti membaca sebuah novel menjadi lebih mudah sekaligus lebih sulit daripada membaca cerpen.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen. Hal yang dimaksud terlihat pada pembicaraan berikut.
1)      Plot, Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen juga novel, yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca). Novel di pihak lain berhubung adanya ketidakteriakatan pada panjang cerita yang memberi kebebasan kepada pengarang, umumnya memiliki lebih dari satu plot terdiri daru satu plot utama dan subplot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan yang diceritakan sepanjang karya itu, sedangkan sub-subplot adalah berupa (munculnya) konflik-konflik tambahan yang bersifat menopang, mempertegas, dan mengintensifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks. Plot-plot tambahan atau sub-subplot tersebut berisi konflik-konflik yang mungkin tidak sama kadar “ke-pentingannya” atau perannya terhadap plot utama.
2)      Tema, karena ceritanya yang pendek, cerpen hanya berisi satu tema, sebaliknya novel dapat saja menawarkan lebih dari satu tema yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan, sejalan dengan adanya plot utama dan sub-subplot diatas yang menampilkan suatu konflik utama dan konflik-konflik pendukung (tambahan)
3)      Penokohan, jumlah tokoh cerita yang terlibat dalam novel dan cerpen terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama. Dibanding dengan novel tokoh-tokoh cerita cerpen lebih lagi terbatas, baik yang menyangkut jumlah maupun data-data jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh itu. Tokoh-tokoh cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, dan lain-lain.
4)      Latar, pelukisan latar cerita untuk novel dan cerpen dilihat secara kuantitatif terdapat perbedaan yang menonjol. Cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang kedaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial, cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit. Asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang di maksudkan. Novel sebaliknya dapat saja melukiskan keadaan latar secara rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti.
5)      Kepaduan, Novel atau cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity, artinya, segala sesuatu yang diceriakan bersifat dan berfungsi mendukung tema utama. Dunia imajiner yang ditampilkan cerpen hanya menyangkut salah stu sisi kecil pengalaman kehidupan saja, sedang yang ditawarkan novel merupakan dunia dalamskala yang lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling berjalinan.

Roman dan Novel, akhirnya perlu juga dikemukan bahwa dalam kesastraan Indonesia dikenal juga istilah roman. Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistis, sedang romansa putis dan epik. Hal itu menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif non fiksi, misalnya surat, biografi, kronik atua sejarah. Jadi, Novel berekmbang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih megnacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam. Romansa, yang merupakan kelanjutan epik dan romansa abar pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil (Wellek & Warren, 1989: 282-3)
Sebenarnya roman itu sendiri lebih tua dari pada novel (frye, dalam Stevick, 1967: 33-6). Romah menurut Frye, tidak berusaha menggambarkan tokoh secara nyata, secara lebih realistis. Merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang lebih bersifat introver, dan subjektif. Di pihak lain, novel lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realistis sosial, jadi ia merupakan tokoh yang lebih memiliki derajat lifelike, disamping merupakan tokoh yang bersifat ekstrover. Dalam pengertian moder, roman berarti cerita prosa yang melukiskan pengalaman-pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan (Van Leeuwen, lewat Jassin, 1961: 70). Pengertian itu mungkin ditambah lagi dengan ”menceritakan tokoh sejak dari ayunan sampai ke kubur” dan lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan pelaku, mendalami sifat watak, dan melukiskan sekitar tempat hidu.
Istilah Roman, novel cerpen dan fiksi memang bukan asli Indonesia, sehingga tidak ada pengertian yang khas Indonesia.

b.      Novel Serius dan Novel Populer
Ciri-ciri yang ditemukan pada novel serius yang biasanya di pertentnagkan dengan novel populer sering juga ditemui pada novel-novel populer, sebaliknya, apalagi jika pencirian yang di lakukan itu bersifat umum, di generalisasikan pada semua karya serius ataupun populer. Tak jarang novel-novel yang dikategorikan sebagai populer memiliki kualitas literer yang tinggi dan dpat juga terjadi sebaliknya. Bayak cerpen, novelet, dan novel yang dimuat di majalah populer (misalnya di majalah-majalah wanita seperti Kartini, Gadis, Sarinah dan Femina) yang mestinya bersifat populer pula, namun bernilai leterer tinggi.
Sebuah novel populer, atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai ”novel pop” kata ’pop’ erat disosiasikan dengan kata ’populer’, mungkin karena novel-novel itu sengaja di tulis untuk ”selera populer” yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagia suatu ”barang dengan populer” dan kemudian di kenal sebagai ”bacaan populer” dan jadilah istilah ’pop’ itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita (Kayam, 1981: 82).
Sastra dan musik ’populer’ sebagai kelanjutan dari istilah ’populer’ yang sebelumnya telah di kenal dalam dunia sastra dan musik adalah semacam sastra dan musik yang di kategorikan sebagai sastra dan musik hiburan dan komersial. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Menampilkan maalah-maslaah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
Sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya tu. Sastra populer akan setia memantlkan kembali ’emosi-emosi asli’ dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Novel serius di pihak lain, justru ’harus’ sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sasrta. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan aik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.
Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang di kemukakan. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (stanton, 1965: 2). Ia ”tidak berpretensi” mengajar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya. Selain dari itu, berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, hanya bersifat itu-itu saja, atau begitu-begitu saja, dan tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan.
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya; unsur kebaruan diutamakan. Tentang bagaimana suatu bahan (baca; gagasan) diolah (baca; diungkapkan) dengan cara yang khas, adalah hal yang penting dalam teks kesastraan. Justru karena adanya unsur pembaharuan itu yang sebenarnya merupakan tarik menarik antara pemertahanan dan penolakan konvensi teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip atau paling tidak pengarang berusaha untuk menghindarinya.
Novel sastra menuntut aktivitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk ’mengoperasikan’ daya intelektualnya. Walau hal yang demikian juga ditemui dalam novel populer, teks kesastraan menuntut peran aktivitas yang lebih besar. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang pembaca novel jenis ini tidak (mungkin banyak)

3.      Unsur-Unsur Fiksi
Sebuah karya f iksi yang jdi, merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja di kreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri ’hanya’ berupa kata, dan kata-kata. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jikan ovel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahsa, misalnya merupakan salah satu bagian dari totalitas itu. Salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsitem organisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya menjadi berwujud. Pembicaraan unsur fiksi berikut di lakukan menurut pandangan tradisional dan di ikuti pandangan menurut Stanton (1965) dan Chapman (1980).
a.      Intriksi dan Ekstrinsi
Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat di kelompokkan menjadi dua bagian. Walau pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang di maksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Di pihak lain unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisasi karya sastra. Sebagaimana halnya unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang di maksud (Wellek & Warren, 1956; 75-135) antara lain adalah keadaan subjektivitas indiviu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang di tulisnya.
Pendek kata unsur biografi pengarang akan turu menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi,baik yang berupa psikolog pengarang (yang mencakup proses kreatifnya). Psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain dan sebagainya.
Pembagian unsur intrinsik struktur karya sastra yang tergolong tradisional, adalah pembagian berdasarkan unsur bentuk dan isi. Unsur peristiwa dan tokoh (dengan segala emosi dan perwatakannya) adalah unsur isi, namun masalah pemplotan (struktur pengurutan peristiwa secara linear dalam karya fiksi) dan penokohan (sementara dibatasi teknik menampilkan tokoh dalam suatu karya fiksi) tergolong unsur bentuk. Padahal pembicaraan unsur plot (pemplotan) dan penokohan tak mungkin dilakukan tanpa melibatkan unsur peristiwa dan tokoh.

b.      Fakta, Tema, Sarana Cerita
Stanton (1965: 11-36) membedakan unsur pembangunan sebuah novel ke dalam tiga bagian fakta tema dan sarana pengucapan (sastran, fakta facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot dan setting, ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya dalam sebuah novel. Sarana pengucapan sastra, saran kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermkan. Tujuan penggunaan (tepatnya, pemilihan) sarana kesastraan adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimaan yang ditafsirkan pengarang dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang, penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme dan ironi.
Setiap novel akan memiliki tiga unsur pokok, sekaligus merupakan unsur terpenting yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama.


c.       Cerita dan Wacana
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu (baca, serita, isi) yang di ekspresikan (chatman, 1980; 23) cerita terdiri dari peristiwa (events) dan wujud keber-ada-annya. Eksistensinya (existents). Wacana, di pihak lain, merupakan sarana untuk mengungkapkan isi, atau secara singkat dapat di katakan unsur cerita adalah apa yang ingin di lukiskan dalam teks naratif itu, sedang wacana adalah bagaimana cara melukiskannya (Chatman, 1980; 19).
Berdasarkan pandangan bahwa teks naratif merupakan sebuah fakta simiotik, semiotik adalah ilmu tentang tanda,. Dengan demikian, unsur teks naratif itu sebagai fakta simiotik terdiri dari unsur. substansi isi (substance of content) bentuk isi (form of content), substansi Ekspresi (substance of expression) dan bentuk ekspresi (form of expression).
Unsur yang merupakan substansi isi, di lain pihak adlah keseluruhan semesta, berbagai bentuk kemungkinan objek dan peristiwa (kejadian) baik yang ada di dunia nyata maupun (yang hanya) dunia imajinatif, yang dapat diimatasikan ke dalam karya naratif sebagaimana yang tersaring lewat kode sosial, budaya pengarang, aspek wacana juga terdiri dari unsur bentuk wacana dan substansi wacana. Unsur bentuk wacana berupa struktur transmisi naratif (dapat juga disebut; wacana naratif) yang terdiri dari unsur-unsur seperti urutan (linearitas) penceritaan atau susunan, modus, kala, frekuensi, perspektif atau sudut pandang, dan lain-lain. Substansi wacana bersujud media, sarana yang dapat di pergunakan untuk mengkomuniaksikan sesuatu (gagasan, cerita) yang ingin di ungkapkan.

SEJARAH PERADILAN DI ZAMAN NABI SAWSEJARAH PERADILAN DI ZAMAN NABI SAW


Pendahuluan
Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah) merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Dalam konteks ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air  keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah manusia”.

Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
a.      Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah  yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran  seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut. Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

b.      Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār -dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.



c.       Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.

Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.”

d.      Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”    
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:

لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر

“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”. 
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).

e.       Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
            Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.



Kesimpulan
            Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
  1. Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga  pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum (wilayah `ammah).
  2. Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi SAW, merupakan perkembangan yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan peradilan di zaman Jahiliyah.
  3. Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
  4. Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
  5. Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.

Selasa, 19 Oktober 2010

Askep Keluarga Gizi buruk


ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA
PADA KLAIN DENGAN GIZI BURUK

I.        PENGERTIAN
Gizi buruk adalah keadaan dimana asupan gizi sangat kurang dari kebutuhan tubuh. Umumnya gizi buruk ini diderita oleh balita karena pada usia tersebut terjadi peningkatan energy yang sangat tajam dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus/bakteri.
II.      ETIOLOGI
1)      Penyebab langsung
2)      Penyakit infeksi
3)      Penyebab tidak langsung
4)      Kemiskinan keluarga
5)      Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua yang rendah
6)      Sanitasi lingkungan yang buruk
7)      Pelayanan kesehatan yang kurang memadai
III.   KLASIFIKASI GIZI BURUK
A.    Kurang kalori ( marasmus)
Marasmus adalah kekurangan energy pada makanan yang menyebabkan cadangan protein tubuh terpakai sehingga anak kurus dan keriput.
1)      Etiologi :
Penyebab utama dari kekurangan makanan yang mengandung kalori
 Penyebab umum
• Kegagalan menyusui anak : ibunya meninggal
• Tidak adanya makanan tambahan
2)      Tanda & gejala
Tampak sangat kurus, sehingga tulang terbungkus kulit
 Wajah seperti orang tua Cengeng Kulit keriput , jari lemak subtikus sangat sedikit sampai tidak ada Perut cekung  Sering disertai penyakit kronis; diare kronik
3)      Patofisiologi
Defisiensi kalori yang lama Penghancuran jaringan lemak
(kebutuhan energy) Menghilangnya lemak dibawah kulit
Penciutan/pengecilan otot  Pelisutan tubuh yang menyeluruh
B.    Kurang protein ( kwashiorkor )
Kwashiorkor adalah penyebab utama dari kekurangan makanan yang mengandung protein hewani. Penyakit ini biasanya diderita oleh golongan sosial ekonomi rendah.
1)      Etiologi :
 Defisiensi asupan protein
2)      Tanda & gejala
Kegagalan pertumbuhan tampak dengan berat badan rendah maupun  ada edema  Edema pada kaki Wajah membulat dan sembab Pandangan mata sayu Cengeng Cracy papement Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung mudah dicabut tanpa rasa sakit dan rontok Pembesaran hati Otot mengecil, lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk Sering disertai infeksi anemia , diare
C.     Kurang kalori dan protein ( marasmus – kwashiorkor )
Etiologi, tanda dan gejalanya merupakan gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.
IV.   PENATALAKSANAAN
Makanan /minuman dengan biologic tinggi gizi kalori / protein. Pemberian secara bertahap dari bentuk dan jumlah mula – mula cair (seperti susu) lunak (bubur) biasa ( nasi lembek).
 Prinsif pemberian nutrisi
1.      Porsi kecil,sering,rendah serat, rendah laktosa
2.      Energy / kalori : 100 K kal / kg BB/ hari
3.      Protein : 1 – 1,5 g / kg BB / hari
4.      Cairan : 130 ml / kg BB / hari Ringan - sedang
: 100 ml / kg BB / hari Edema Berat  Obati / cegah infeksi
Antibiotic
a.       Bila tampak komlikasi : Cotrymoksasol 5 ml
b.       Bila anak sakit berat : Ampicillin 50 mg / kg BB IM/ IV
Setiap 6 Jam Selama 2 Hari
 Untuk Melihat kemajuan / perkembangan anak
• Timbang berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
• Catat kenaikan BB anak tiap minggu

























ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
a.            Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, No Register, agama, tanggal masuk Rs , dll
b.           Keluhan utama
Tidak ada nafsu makan dan muntah
c.            Riwayat penyakit sekarang
Gizi buruk biasanya ditemukan nafsu makan kurang kadang disertai muntah dan tubuh terdapat kelainan kulit (crazy pavement)
d.           Riwayat penyakit dahulu
Apakah ada riwayat penyakit infeksi , anemia, dan diare sebelumnya
e.            Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang lain menderita gizi buruk
II. Pemeriksaan fisik
a)       Inspeksi
o         Mata        : agak menonjol
o       Wajah        :membulat dan sembab
o       Kepala       : rambut mudah rontok dan kemerahan
o       Abdomen   : perut terlihat buncit
o     kulit                 : adakah Crazy pavement dermatosis, keadaan turgor kulit, odema
b)       Palpasi
  Pembesaran hsti ± 1 inchi
  Auskultasi
  Peristaltic usus abnormal



III. Pemeriksaan penunjang
1.   Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah meliputi Hb, albumin, globulin, protein total, elektrolit serum, biakan darah.
2.   Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urine meliputi urine lengkap dan kulture urine
3.   Uji faal hati
4.   EKG
5.   X foto paru
V.    Diagnosa keperawatan
1.    Pemenuhan nutrisi kurang daari kebuituhan tubuh b.d intake nutrisi tidak adekuat
Tujuan : nutrisi klien terpenuhi dalam 2 minggu
kriteria hasil :
o       Klien tidak muntah lagi
o       Nafsu makan kembali normal
o       Edema Berkurang /Hilang
o       BB sesuai dengan umur (berat badan ideal 10 kg tanpa edema)
Rencana
1)      Beri asupan makanan/minuman tinggi kalori/protein
2)      Timbang berat badan klien tiap hari
3)      Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat/vitamin/nutrisi
4)      Observasi pengawasan pemberian cairan
5)      Kerusakan integritas kulit b.d perubahan nutrisi, dehidrasi
Tujuan: Integritas kulit kembali normal.
Kriteria hasil:
o       Gatal hilang/berkurang.
o       Kulit kembali halus, kenyal dan utuh.
Rencana:
o       Anjurkan pada keluarga tentang pentingnya merubah posisi sesering mungkin.
o       Anjurkan keluarga lebih sering mengganti pakaian anak bila basah atau kotor dan kulit anak tetap kering.
o       Kolaborasi dengan dokter untuk pengobatan lebih lanjut.
2.    Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang kondisi, prognosi dan mebutuhan nutrisi
Tujuan: Pengetahuan keluarga bertambah.
Kriteria hasil:
o       Keluarga mengerti dan memahami isi penyuluhan.
o       Dapat mengulangi isi penyuluhan.
o       Mampu menerapkan isi penyuluhan di rumah sakit dan nanti sampai di rumah.
Rencana:
o       Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.
o       Jelaskan tentang:
Nama penyakit anak.
 Penyebab penyakit.
 Akibat yang ditimbulkan.
 Pengobatan yang dilakukan.
o       Jelaskan tentang:
 Pengertian nutrisi dan pentingnya.
 Pola makan yang betul untuk anak sesuai umurnya.
 Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin terutama banyak  mengandung protein.
o       Beri kesempatan keluarga untuk mengulangi isi penyuluhan.
o       Anjurkan keluarga untuk membawa anak kontrol di poli gizi setelah pulang dari rumah sakit.





DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, Jakarta, EGC
Lynda juall carpenito, diagnose keperawatan edisi 6
Kapita selekta kodekteran edisi ketiga jilid 2
Marilan E Doenges, 1999